Selasa, 23 Juni 2009

Media Dakwah

Mengapa Harus Mencari Solusi Dengan Bid’ah.

Oleh H. Zulkarnain ElMadury

Bagian 1

Ini problem, atau memang karena umat telah jauh dari perangkat sunah, jejak dan prilaku rasulullah saw, sebagai alas pijakan kita dalam segala kiat kehidupan, baik yang menyangkut masalah masalah aqidah, ubudiyah ataupun muamalat. Terutama menyangkup prinsip jalan hidup mengabdi sebagai hamba Allah (Ubudiyah) telah menjadi tumpuan utama umat dalam mencari solusi dari kesulitan kesulitan mereka. Walapun tidak tahu persis bentuk ibadah solusi yuang dianutnya, mereka yakin, bahwa amalan yang mereka lakukan adalah upaya sunnah dalam rangka mendapatkan pertolongan Allah, mendekatkan diri dan keluar dari kesulitan yang melanda.

Anehnya ritual bid’ah ini mendatangkan simpati dari masyarakat awam, bahkan menjadi modal menguntungkan dan dagangan paling laris yang puncaknya menyedot perhatian umat awam sunah, kendati mereka menyandang beranekaragam predikat sarjana. Tetapi keawaman biasa saja terjadi oleh sebab latar belakang pendidikan mereka berangkat dari umum. Kalaupun sempat mempelajari Islam, itupun berangkat dari metode yang tidak jelas. Akibatnya, lahir anggapan bahwa, amalan yang dilakukan mereka itu adalah Islam, padahal bukan.

" إن الإسلام بدأ غريبا و سيعود غريبا كما بدأ فطوبى للغرباء . قيل : من هم يا رسول الله ؟ قال : الذين يصلحون إذا فسد الناس " . قال الألباني في " السلسلة الصحيحة " 3 / 267

Rasulullah SAW. Bersabda: Sesungguhnya Islam awal datangnya asing, kelak akhirnya akan kembali asing sebagaimana awalnya.Beruntunglah mereka yang asing”. Lalu ditanya (Shahabat).”Siapa mereka itu Ya Rasulullah ?. Rasulullah SAW. Bersabda: Mereka yang membangun kembali kebaikan ketika manusia telah rusak”. Menurut Al Bany hadist ini Shohe. Ini dasar naqliyah yang menggambarkan tentang keberadaan ummat sesudah nabi. Mereka (para pejuang sunnah) tidak lagi mendapat tempat di hati umat. Tetapi bid’ah bid’ah bermunculan menebarkan racun keyakinan ditengah umat Islam atas nama Islam. Sunnah menjadi momok menakutkan, seolah siraman bara api di tubuh korbannya. Bid’ah menjadi media mencapai ketata’atan yang didasarkan pada dalih demi UKHUWAH Islamiyah. Jeleknya mereka beranggapan langsung ataupun tidak, bahwa mereka yang tidak setuju dengan acara bid’ah itu dianggap tidak ukhuwah, tidak toleransi, dan tidak tahu kondisi. Instrumen ini muncul sebagai bentuk pembelaan terhadap ajaran Bid’ah dan sebagai manifesto keislaman yang beraliran prtakmatisme idialisme. Dengan menyuguhkan banyak praktek ibadah bid’ah, seperrti dzikir bersama. DHUHA BERSAMA, dan bentuk ritual lainnya yang membangkan sunnah Rasul.

Mengapa hasrus dengan cara cara bid’ah mengajak ummat dekat dengan Allah, bukankah cara cara seperti sama dengan cara kaum musyrikin yang menjadikan berhala sebagai media pendekatan kepada Allah. Mereka yang menjaddi inisiator dari DZIKIR BERSAMA dan DHUHA BERSAMA mereka menjadi tentram dengan ajaran yang salah itu ketimbang menyampaikan sunnah yang penuh dengan resiko. Dzikir bersama jelas merupakan alternatif dzikir yang menjauhkan diri mereka dari sunnah, demikian juga halnya Dhua bersama, hanya akan menambah jauhnya umat Islam dari Sunnah, Juga akan menjuhkan umat Islam dari Islam yang murni. Jangan kemudian produk otak manusia seperti halnya Dzikir dan Dhuha bersama dianggap mampu menye- matkan rasa damai dan ketentraman hati, kalaupun itu terjadi pasti itu adalah nyanyian setan dalam menjebak manusia dalam jaring kesesatan.

Semua produk bid’ah tidaklah bersifat alami atau muncul dengan sendirinya, tetapi merupakan hasil rekayasa para Da’i yang bingung mencari alternatif dakwah, sehingga terpaksa melakukan mall praktek terhadap dakwah, dengan harapan dapat menyedot perhatian dan simpati umat, sekalipun harus meram- pas hak rasul sebagai manusia panutan (Sunah).Nabi Shallallahu’alaihi wasallam bersabda

حُذَيْفَةَ بْنَ الْيَمَانِ يَقُولُ كَانَ النَّاسُ يَسْأَلُونَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ الْخَيْرِ وَكُنْتُ أَسْأَلُهُ عَنْ الشَّرِّ مَخَافَةَ أَنْ يُدْرِكَنِي فَقُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّا كُنَّا فِي جَاهِلِيَّةٍ وَشَرٍّ فَجَاءَنَا اللَّهُ بِهَذَا الْخَيْرِ فَهَلْ بَعْدَ هَذَا الْخَيْرِ مِنْ شَرٍّ قَالَ نَعَمْ قُلْتُ وَهَلْ بَعْدَ ذَلِكَ الشَّرِّ مِنْ خَيْرٍ قَالَ نَعَمْ وَفِيهِ دَخَنٌ قُلْتُ وَمَا دَخَنُهُ قَالَ قَوْمٌ يَهْدُونَ بِغَيْرِ هَدْيِي تَعْرِفُ مِنْهُمْ وَتُنْكِرُ قُلْتُ فَهَلْ بَعْدَ ذَلِكَ الْخَيْرِ مِنْ شَرٍّ قَالَ نَعَمْ دُعَاةٌ إِلَى أَبْوَابِ جَهَنَّمَ مَنْ أَجَابَهُمْ إِلَيْهَا قَذَفُوهُ فِيهَا قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ صِفْهُمْ لَنَا فَقَالَ هُمْ مِنْ جِلْدَتِنَا وَيَتَكَلَّمُونَ بِأَلْسِنَتِنَا قُلْتُ فَمَا تَأْمُرُنِي إِنْ أَدْرَكَنِي ذَلِكَ قَالَ تَلْزَمُ جَمَاعَةَ الْمُسْلِمِينَ وَإِمَامَهُمْ قُلْتُ فَإِنْ لَمْ يَكُنْ لَهُمْ جَمَاعَةٌ وَلَا إِمَامٌ قَالَ فَاعْتَزِلْ تِلْكَ الْفِرَقَ كُلَّهَا وَلَوْ أَنْ تَعَضَّ بِأَصْلِ شَجَرَةٍ حَتَّى يُدْرِكَكَ الْمَوْتُ وَأَنْتَ عَلَى ذَلِكَ [صحيح بخارى ]

Hudhaifah bin Yaman berkata: “ Para shahabat bertanya kepada Rasulullah tentang kebaikan, dan aku bertanya tentang kejelekan yang khawatir menim- paku. Tanyaku: “Ya Rasulullah dulu kita berada dalam suasana Jahiliyah. Kini Allah mendatangkan kebaikan kepada kita. Lalu apakah sesudah kebaikan akan ada keburukan ?”, Sabdanya:” Benar “. Tanyaku: “ Dan apakah sesudah kejelekan akan ada lagi kebaikan ?”. Sabdanya: “Benar, dan pada kebaikan itu ada kesamaran “. Tanyaku: “Seperti apa kesamarannya”. Sabdanya: “Kaum yang menjalankan petunjuk bukan petunjukku, engkau mengenal kebaikannya dan mengingkarinya”. Tanyaku: “lalu setelah kebaikan itu masih ada lagi kejahatan ?”. Sabdanya:” Benar, yakni para da’i yang mengajak keneraka Jahannam. Mereka yang menyambut ajakannya dia akan terlempar ke Neraka”. Tanyaku :”Ya Rasulullah terangkan sifat sifat mereka itu kepada kami !. Maka Sabdanya:”Mereka itu dari umat kami dan berbahasa dengan bahasa kita “. Kataku:”Lalu apa perintahmu padaku jika aku mendapati itu”. Sabdanya:”Tetap seperti biasa dalam satu jemaah dengan kaum muslimin dan dalam bingkai kepemimpinan mereka”. Tanyaku:”Lalu jika jemaah dan imamnya tidak mereka miliki?”. Sabdanya:”Tinggalkan semua kelompok yang ada, meskipun harus makan akar pohon sehingga mati mnejemput dan kamu tetap berprinsip Sunnah”.{Shohe Bukhari hadist ke 3338}

Hadist tersebut mengandung matan yang membenarkan peristiwa akhir zaman, ketika sunah ternoda; pertama munculnya orang mengabaikan sunnah Nabi dan mendorong lahirnya gagasan bid’ah. Kedua, kebaikan yang samar, sulit dibedakan antara sunnah dengan bid’ah, dan mereka berlomba beramal dengan sunnah sunnah ciptaan mereka sendiri. Nafsunya menjadi kiblat dalam menentukan arah berpikir umat Islam. Ketiga, adalah para da’i yang merintis amalan yang disandarkan kepada Nabi, tetapi pada hakikatnya dapat menjerumuskan umat kedalam kesesatan (Neraka). Sebuah axioma abad itu mengarahkan makna dan pengertian jemaah dan Imam pada kelompok kelompok yang ada padahal bertolak belakang dengan Sunnah. Sikap kita adalah, meninggalkan semua kelompok yang ada dengan berprinsip hijrah dari kemunafikan para da’i yang menebar kiat ibadah bid’ah. Karena selamanya bid’ah tidak akan pernah toleran dengan kebenaran sunnah, apapun alasan mereka dalam membela bid’ah.


Editor : Sudirman,S.Sos.I

1 komentar: